Jumat, 16 September 2011

Sumber Pengambilan Ahli Bid’ah Dalam Berdalil

Sumber Pengambilan Ahli Bid’ah Dalam Berdalil


Setiap orang yang keluar dari Sunnah —dari orang-orang yang mengaku mengikutinya dan yang mengaku sebagai ahlinya— pasti berlebih-lebihan dalam mengemukakan dalil-dalil yang digunakan untuk mendasari perkara-perkara yang khusus bagi mereka. Jika tidak maka pasti terdapat kedustaan pada pengakuan yang mereka lontarkan. Bahkan semua pelaku bid’ah dari umat ini mengaku bahwa dirinya adalah pengikut Sunnah yang bukan termasuk orang yang menyelisihinya dari kelompok lain, sehingga tidak mungkin baginya untuk menarik ucapannya agar dapat berpegang teguh pada perkara yang mirip dengan Sunnah.

Jika ia berbalik kepadanya, maka wajib baginya untuk berdalil dengan sumber dalil orang yang berhak atasnya, yaitu orang-orang yang lebih mengetahui perkataan orang-orang Arab dan hukum-hukum syariat secara umum serta tujuan-tujuannya, seperti yang dijalankan oleh para ulama salaf terdahulu yang menjadikannya sebagai dalil. Akan tetapi, mereka —sebagaimana diketahui setelahnya— belum sampai pada derajat orang-orang yang pantas mengambil kesimpulan hukum secara mutlak dalam perkara tersebut. Mungkin karena mereka kurang dapat memahami percakapan orang Arab, atau mungkin kurang dapat memahami kaidah-kaidah ilmu ushul fikih yang dijadikan sebagai sumber pengambilan intisari hukum-hukum syariat, atau mungkin karena ketiadaan dua perkara tersebut secara bersamaan.

Jika hal ini telah diketahui dengan jelas, maka sudah selayaknya untuk memberikan peringatan atas pengambilan-pengambilan sumber dalil tersebut, agar dapat dihindari dan berhati-hati. Oleh karena itu, kami katakan:
Allah Ta’ala berfirman, “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari penakwilannya.” (Qs. Aali ‘Imraan [3]: 7). Hal itu disebabkan ayat ini mencakup dua bagian yang keduanya menjadi sumber untuk berjalan di atas jalan yang benar atau berjalan di atas jalan yang salah.

Bagian Pertama: Orang-orang yang mendalam ilmunya. Yaitu orang-orang yang tegak pendiriannya dalam ilmu syariat. Ketika perkara tersebut hanya bisa dapatkan oleh orang yang telah mencapai dua perkara yang telah disebutkan tadi dan tidak mungkin mengetahui kedua perkara tersebut secara bersamaan sesuai dengan kekuatan yang diberikan pada kemampuan manusia secara umum, maka pada saat itu dinisbatkan kepadanya sebutan (orang-orang yang mendalam ilmunya). Kandungan ayat secara keseluruhan juga memenuhinya, maka ia memang orang yang berhak memberi petunjuk dan menentukan hukum.
Ketika dikhususkan bagi orang-orang yang di dalam hatinya terdapat kecondongan terhadap kesesatan dengan mengikuti perkara yang mutasyabihat, maka pengkhususan tersebut menjadi dalil bahwa orang-orang yang mendalam ilmunya tidak mengikutinya karena mereka hanya mengikuti ayat-ayat yang muhkam, yaitu ummul kitab dan kandungannya.

Jadi, setiap dalil khusus atau dalil umum yang telah dipersaksikan baginya oleh sebagian besar hukum syariat, pasti dalil yang benar, dan selain dalil itu adalah dalil yang salah. Sebab antara dalil yang benar dengan dalil yang salah tidak terdapat perantara dalil lain yang dapat dijadikan sandaran, karena jika disana terdapat dalil yang ketiga maka pasti akan dijelaskan dengan nash ayat Al Qur’an.
Tatkala orang-orang yang condong kepada kesesatan dikhususkan sebagai orang-orang yang selalu mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat, maka dapat diketahui bahwa orang-orang yang mendalam ilmunya tidak mungkin mengikutinya. 

Jadi, semua penakwilan mereka dikembalikan kepada ayat-ayat yang muhkam (jika dapat dimasukkan ke dalam perkara yang muhkam), sesuai dengan aturan serta kaidahnya, dan ini dalam perkara mutasyabih idhafi (tambdhan) bukan hakiki (sesungguhnya). 
Di dalam ayat tersebut tidak terdapat nash (dalil) tentang ketentuan hukumnya menurut orang-orang yang mendalam ilmunya, maka menurut mereka selayaknya dikembalikan kepada ayat-ayat yang muhkam, yaitu pokok-pokok isi Al Qur’an. Sedangkan yang tidak ditakwilkan oleh mereka atas dasar bahwa ia adalah perkara yang mutasyabih hakiki, maka mereka menghadapinya dengan penyerahan diri dan dengan ucapan, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” (Qs. Aali ‘Imraan (3): 7) Mereka itulah orang-orang yang berakal.

Telah disebutkan pula tentang orang-orang yang condong kepada kesesatan. Merekalah orang yang mengikuti mutasyabih guna mencari-cari hukum dengan nafsu mereka demi menimbulkan fitnah, sehingga mereka memandang hukum di bawah hawa nafsu, lalu mendatangkan dalil sebagai persaksian atas tindakannya. Hal itu berbeda sekali dengan orang yang mendalam ilmunya, karena mereka akan menundukkan hawa nafsunya di bawah ketentuan hukum. Mereka (yang mendalami ilmunya) adalah orang-orang yang berseberangan dengan mereka yang condong kepada kesesatan tatkala mereka menghadapi perkara yang mutasyabih, karena mereka tidak mencari-cari hukumnya dan tidak memakainya sebagai hukum kecuali dengan sikap pasrah. Pengertian ini hanya khusus bagi orang yang mencari kebenaran dari dalil-dalil, bukan untuk orang mencari dalam dalil terhadap apa yang disahkan oleh nafsunya.

Bagian Kedua: Orang-orang yang tidak mendalam ilmunya. Yaitu orang yang condong kepada kesesatan. Ada dua penyifatan untuk mereka dari ayat tersebut:
1. Penyifatan sesuai nash, yaitu condong pada kesesatan, dengan dalil dari firman Allah Ta’ala, “Adapun orang-orang yang di dalam hatinya terdapat kecondongan kepada kesesatan” Arti kata az-zaigh yaitu keluar dari jalan yang lurus. la berfungsi sebagai celaan bagi mereka.
2. Penyifatan sesuai pengertian yang diberikan oleh pembagian tersebut, yaitu tidak memiliki ilmu yang mendalam. Setiap orang yang tidak memiliki ilmu yang mendalam, maka kecenderungannya hanya pada kebodohan, yang dapat mengakibatkan kecondongan terhadap kesesatan (az-zaigh). Sebab, orang yang tidak boleh menyimpulkan hukum dan mengikuti dalil dari sebagian orang bodoh, pasti tidak dibolehkan untuk mencari-cari hukum yang muhkam dan yang mutasyabih. Jika mengharuskan dirinya mengikuti hukum yang muhkam, maka sikapnya itu akan tidak memberikan faidah pada hukum yang ia buat, karena secara nyata ia pasti mengikutinya dari segi yang batil atau mutasyabih. Bagaimana 

Pendapatmu menurut jika ia mengikuti hukum yang mutasyabih?
Sikap mengikuti hukum yang mutasyabih —meski dari segi mencari petunjuk dan bukan untuk membuat fitnah— bagaimana pun juga tidak mungkin akan mencapai tujuan. Bagaimana pendapatmu jika ia mengikutinya demi membuat fitnah? Begitu pula hukum yang muhkam, jika ia mengikutinya untuk membuat fitnah. Jadi, kamu akan selalu mendapatkan orang-orang bodoh berhujjah untuk dirinya sendiri dengan dalil-dalil yang rusak dan dalil-dalil yang benar, namun sebatas melihat dalil tertentu, serta tidak memperhatikan dalil-dalil lain (dari dalil-dalil ushul dan furu ‘ilmu fikih) yang bertentangan dengan pendapatnya atau yang berseberangan dengannya.

 Orang-orang yang mengaku memiliki ilmu (padahal sebenamya bodoh) biasanya menjadikan jalan ini sebagai pijakannya dan mungkin juga ia telah berfatwa dengan kandungannya dan mengerjakan sesuai aturan-aturannya apabila ia memiliki tujuan tertentu, atau membuang tujuannya demi menyebarkan fitnah. Seperti dibolehkannya seorang imam untuk membagikan semua harta yang mereka dapatkan dari harta rampasan perang kepada seluruh pasukan perang, “Barangsiapa berkuasa dapat mengambil dengan paksa “bukan dengan cara yang telah ditentukan syariat, tetapi atas dasar periwayatan sebagian ulama, “Dibolehkan untuk mewakilkan (membagikan) pasukan kecil atas semua harta rampasan perangnya.” Kemudian pendapat itu dinisbatkan —ia adalah pengikut Imam Malik— kepada Malik, yang berkata dari perkataan yang telah diriwayatkan darinya: Harta rampasan perang yang dibagikan oleh seorang imam maka diperbolehkan.

Mereka (orang-orang yang condong kepada kesesatan) menjadikan perkataan ini sebagai dalil nash atas diperbolehkannya seorang imam untuk membagikan semua harta rampasan perang bagi pasukan, tanpa dipahami secara saksama, bahwa (dalam pembagian tersebut) maksudnya adalah pasukan kecil yang hanya bagian dari pasukan perang yang masuk ke daerah musuh untuk mengacaukan situasi musuh lalu kembali lagi ke dalam pasukan. Jadi, maksudnya pasukan kecil bukanlah pasukan perang yang sesungguhnya. Juga tidak melihat bahwa yang dibolehkan Malik dalam pembagian harta rampasan perang oleh imam adalah seperlimanya (tidak terdapat perselisihan dalam perkara tersebut dari orang-orang yang lebih mengetahui darinya serta dari para sahabatnya). Sesungguhnya harta yang telah dibagikan dari harta rampasan perang oleh imam dari seperlimanya itu diperbolehkan, karena hukum ini diambil dari hasil ijtihad.

Begitulah selamanya di dalam semua perkara dengan mendahului hawa nafsu, kemudian mencari jalan keluar dari perkataan para ulama atau dari dalil-dalil syariat serta perkataan orang Arab, karena keluasan dan kemungkinannya banyak. Akan tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya telah mengetahui tujuannya dari pertama sampai akhir, maka mereka membiarkannya atau menjelaskan kedudukannya atau mencarikan perbandingan hukum yang sepadan dengannya. Jadi, orang yang tidak mengakui kebenarannya dari awal sampai akhir dan hanya mengakui semua pendapat yang dibangunnya, pasti akan tergelincir di dalam pemahamannya sendiri. Kondisi ini adalah kondisi seseorang yang mengambil dalil-dalil dari sebagian ungkapan syariat dengan tidak melihat semua ungkapannya antara satu dengan yang lain, tergelincir. Kondisi seperti ini bukanlah kondisi orang-orang yang mendalam ilmunya, akan tetapi kondisi orang-orang yang terburu-buru mencari jalan keluar demi sebuah pengakuannya.

Telah dipahami dari ayat tersebut bahwa kecondongan terhadap kesesatan tidak berada di atas jalan orang yang mendalam ilmunya tanpa harus ada hukum kesepakatan, dan sesungguhnya orang yang mendalam ilmunya sama sekali tidak condong kepada kesesatan.
Sesungguhnya orang-orang yang mendalam ilmunya memiliki jalan yang dilaluinya dalam mengikuti kebenaran, dan orang-orang yang condong kepada kesesatan berada di jalan yang bukan jalan mereka. Oleh karena itu, kita membutuhkan penjelasan tentang jalan yang mereka tempuh agar kita dapat menjauhinya, sebagaimana kita akan menjelaskan jalan orang-orang yang mendalam ilmunya agar kita dapat mengikutinya.

Para pakar ilmu ushul fikih telah menjelaskan dan menerangkan secara panjang lebar tentang jalan orang-orang yang mendalam ilmunya, namun mereka tidak menerangkan tentang jalan orang-orang yang condong kepada kesesatan. Apakah memungkinkan untuk membatasi sumber pengambilan hukumnya terlebih dahulu? Sesungguhnya kami telah mendapatkannya di dalam ayat lain yang berkaitan dengan orang-orang yang condong kepada kesesatan dan orang-orang yang mendalam ilmunya, “Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.” (Qs. Al An’aam [6]: 153). Ayat ini telah memberi penjelasan bahwa jalan kebenaran itu satu dan jalan kebatilan itu beraneka ragam, sementara ragamnya tidak ditentukan dengan hitungan khusus. Hadits yang telah menafsirkan ayat tersebut berasal dari periwayatan Ibnu Mas’ud RA, ia berkata: Rasulullah Shalallah ‘alahi wassalam membuat garis lurus untuk kami dan berkata,
“Ini adalah jalan Allah yang lurus.”
Beliau kemudian membuat garis-garis pada sisi kanan dan kiri garis tersebut, lalu berkata,
“Ini adalah jalan-jalan yang lain dan diatas setiap jalan tersebut terdapat syetan yang mengajak kepada jalannya.”
Beliau lalu membaca ayat tadi (Al An’aam ayat [53]).
Di dalam hadits dijelaskan bahwa jalan-jalan tersebut sangat banyak dan tidak dibatasi jumlahnya, maka kita tidak memiliki jalan untuk membatasi jumlahnya dari segi dalil naqli dan dalil aqli (akal) serta penelitian.

Adapun akal, sesungguhnya ia tidak memutuskan jumlah tertentu, karena perkara tersebut tidak dapat dikembalikan kepada perkara yang tertentu hitungannya; bukankah kamu tahu bahwa kecondongan terhadap kesesatan kembali pada perkara kebodohan, sedangkan segi-segi kebodohan tidak terbatas jumlahnya? Oleh karena itu, berusaha menetapkan jumlahnya adalah usaha keras yang sia-sia.
Adapun penelitian, tidak berarti di dalam pencarian tersebut, sebab tatkala kita memperhatikan jalan-jalan bid’ah mulai tumbuh, maka kita akan mendapatkannya semakin bertambah pada setiap pergantian hari, serta tidak ada satu masa melainkan kejanggalan dari kejanggalan-kejanggalan pengambilan hukum terjadi sampai zaman kita sekarang.

Apabila demikian kondisinya, maka setelah zaman kita ini akan terjadi penggunaan dalil-dalil lain yang tidak kita jumped keberadaannya sebelumnya, apalagi tatkala semakin banyaknya kebodohan dan sedikitnya ilmu serta jauhnya para peneliti dari derajat ijtihad, sehingga tidak mungkin menentukan jumlahnya dari segi penelitian ini dan tidak dapat dikatakan, “Sesungguhnya perkara tersebut kembali pada penyelisihan terhadap jalan kebenaran.” Segi-segi penentangan pun tidak dapat dibatasi.
Jadi, jelas bahwa terus-menerus menekuni segi pembatasan ini adalah beban yang memberatkan. Akan tetapi kami akan menyebutkan segi pembatasannya secara umum dari perkara-perkara tersebut, yang dapat diqiyaskan terhadap segi-segi lainnya pada poin-poin berikut ini.
Al ‘Itisham – Imam Syathibi

Pernyataan para sahabat tentang bid’ah dan pelakunya

Pernyataan para sahabat tentang bid’ah dan pelakunya


1. Diriwayatkan —secara shahih— dari Umar bin Khaththab, bahwa ia pernah berkhutbah di hadapan manusia, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah menetapkan beberapa Sunnah untuk kalian, telah menjelaskan beberapa kewajiban bagi kalian, serta telah meninggalkan ajaran yang jelas kepada kalian, kecuali jika kalian menyesatkan diri kalian sendiri dengan mengikuti manusia ke sisi kanan atau kiri dan bertepuk dengan kedua telapak tangannya.”

Ia berkata lagi, “Berhati-hatilah kalian dari berbuat kesalahan pada ayat-ayat tentang hukum rajam —sebab seseorang berkata, ‘Kami tidak mendapatkan dua hukum Allah (had} tersebut di dalam kitab Allah.’ Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melaksanakan hukum rajam dan begitu juga kami telah merajam—….”

2. Diriwayatkan —dengan derajat shahih— dari Hudzaifah RA, ia berkata, “Wahai para pembaca Al Qur’an, tetaplah kalian pada jalan yang lurus, maka kalian akan mendahului yang telah jauh mendahuluimu. Namun bila kalian mengikuti jalan ke kanan atau ke kiri, maka kalian pasti akan tersesat dengan kesesatan yang nyata.”

Telah diriwayatkan pula darinya dari jalur yang berbeda, bahwa ia masuk masjid dan menghampiri halaqah ilmu, kemudian berkata, “Wahai para pembaca Al Qur’an, teruslah kalian berjalan pada jalan tersebut dan jika kalian berjalan di atasnya maka kalian akan mendahului yang telah jauh mendahului kalian. Namun jika kalian mengikuti jalan yang ke kanan atau ke kiri, maka kalian akan tersesat dengan kesesatan yang nyata.”

3. Diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak, ia berkata, “Demi Allah, apabila kalian tetap mengikuti jalan yang lurus, maka kalian akan mendahului orang yang telah mendahului kalian.” (Al Hadits).

4. Diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak, ia berkata, “Perkara yang sangat saya takutkan atas manusia ada dua, yaitu: keterpengaruhan mereka dengan hasil pemikiran mereka atas hal-hal yang telah mereka ketahui, dan saat mereka saat berada dalam kesesatan.” Sufwan berkata, “Mereka adalah para pelaku bid’ah.”

5. Diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak, ia berkata, “Ia mengambil dua batu dan meletakkan salah satu batu tersebut di atas batu yang satunya lagi. Kemudian ia bertanya kepada para sahabatnya, ‘Apakah kamu melihat cahaya di antara kedua batu ini?’ Mereka menjawab, ‘Wahai Abu Abdullah, sesungguhnya kami hanya melihat sedikit cahaya di antara keduanya.’ Ia berkata, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, pasti akan timbul bid’ah, sehingga kebenaran tidak terlihat kecuali sebesar cahaya yang keluar di antara kedua batu ini. Demi Allah! mereka akan menyebarkan bid’ah sehingga tatkala mereka meninggalkan sesuatu darinya mereka berkata, “Aku telah meninggalkan Sunnah.”

6. Diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak, ia berkata, “Pertama kali yang hilang dari agama kalian adalah amanat, dan yang terakhir adalah shalat. Kemudian kehormatan Islam dilanggar satu demi satu dan wanita- wanita kalian digauli ketika sedang dalam keadaan haid. Jalan orang- orang yang sebelum kalian akan diikutinya bagaikan anak panah dengan busurnya dan bagaikan sandal dengan pasangannya. Kalian tidak menyalahkan jalan mereka dan mereka juga tidak menyalahkan kalian, sehingga tersisa dua kelompok dari beberapa kelompok yang banyak. Kemudian salah satu dari dua kelompok tersebut berkata, ‘Apa gerangan dengan shalat lima waktu? Sesungguhnya orang-orang yang sebelum kita telah sesat dan Allah hanya berfirman, “Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi slang (pagi dan petang) dan pada bag/an permulaan daripada ma/am.” (Qs. Huud [11] : 114). Jadi, janganlah kalian mendirikan shalat kecuali tiga waktu tersebut”.’ Kelompok yang lain berkata, ‘Sesungguhnya orang-orang yang beriman kepada Allah bagaikan berimannya para malaikat, tidak terdapat padanya orang-orang kafir atau orang-orang munafik.’ Pasti Allah akan mengumpulkan kedua golongan tersebut bersama Dajjal.”

Pengertian tersebut sejalan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Raff dari Nabi Shalallah ‘alaihi wassalam, beliau bersabda,
“Akan kalian dapatkan salah seorang diantara kalian yang duduk di atas sofanya, kemudian datang kepadanya perkara dan perkara-perkara yang telah aku perintahkan atau yang telah aku larang, lalu ia berkata, ‘Aku tidak tahu, aku tidak tahu. Apa yang kami dapatkan di dalam kitab Allah kami mengikutinya, karena Sunnah diturunkan untuk menjelaskan Al Qur’an, dan orang yang mengambil Al Qur’an tanpa ada pengetahuan tentang Sunnah, pasti akan tergelincir dari Al Qur’an, sebagaimana ia tergelincirnya dari Sunnah.”
Oleh karena itu, seseorang berkata, “Sesungguhnya orang-orang yang sebelum kita telah sesat…”

Atsar-atsar ini dari Hudzaifah, dari periwayatan Ibnu Wadhdhah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA, ia berkata, “Ikutilah peninggalan- peninggalan kami dan janganlah kalian berbuat bid’ah karena —ajaran- ajaran— telah dicukupkan bagimu.”
.
Diriwayatkan oleh Ibnu Wahhab, ia berkata, “Hendaknya kamu mempelajari ilmu sebelum (ilmu) diangkat. Diangkatnya ilmu adalah dengan meninggalnya para ulama. Hendaknya kamu mempelajari ilmu, karena salah seorang di antara kamu tidak tahu kapan ia membutuhkan ilmu yang ada pada dirinya tersebut. Kamu akan mendapatkan suatu kaum yang mengira bahwa dirinya telah menyeru kepada kitab Allah, padahal mereka telah membuangnya dari balik punggungnya. Oleh sebab itu, hendaknya kamu berbuat dengan ilmu dan jauhilah perbuatan bid’ah, memutarbalikkan pembicaraan, dan berlebihan dalam berhujjah. Berpegang teguhlah kamu dengan ajaran yang mulia.”

9. Diriwayatkan oleh Ibn Wahhab, ia berkata, “Tidak ada masa melainkan yang setelahnya lebih buruk darinya. Aku tidak bermaksud berkata, ‘Tahun ini lebih banyak turun hujan daripada tahun lalu,’ Atau, ‘Tahun ini lebih subur daripada tahun lalu,’ Atau, ‘Tidak ada pemimpin yang lebih baik daripada pemimpin yang lalu?’ Akan tetapi (maksudnya adalah) kepergian para ulama dan orang-orang terhormat di antara kalian, yang kemudian datang satu kaum dengan perkara yang baru, yang mengukur semua perkara dengan akal pikirannya. Merekalah yang menjadikan Islam hancur dan terkubur.”

10. Diriwayatkan oleh Ibn Wahhab, ia berkata, “Bagaimana keadaan kalian jika tertimpa fitnah yang menjadikan orang-orang tua tak berdaya dan anak-anak kecil mengatur manusia serta berbicara masalah Sunnah? Oleh karena, kalian harus merubahnya.” Dikatakan bahwa Riwayat ini munkar.

11. Diriwayatkan oleh Ibnu Wahhab, ia berkata, “Wahai sekalian manusia, janganlah kalian berbuat bid’ah, memutarbalikkan pembicaraan, dan berlebihan dalam berhujjah. Hendaknya kalian berpegang teguh pada ajaran yang mulia serta tinggalkanlah hal-hal yang kalian ingkari.”

12. Diriwayatkan oleh Ibn Wahhab, ia berkata, “Mengikuti Sunnah lebih baik daripada berijtihad dalam bid’ah.”

13. Diriwayatkan —secara marfu’— dari Nabi Shalallah ‘alaihi wassalam, beliau bersabda,
Amal perbuatan yang sedikit namun sesuai dengan Sunnah lebih baik daripada perbuatan yang banyak namun mengikuti bid’ah.”

14. Diriwaypaling pedih mendapatkan siksa pada Hari Kiamat adalah imam yang sesat, yang menyesatkan manusia dengan sesuatu yang tidak diturunkan Allah, pelukis, dan orang yang membunuh nabi atau dibunuh oleh nabi.”

15. Diriwayatkan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, ia berkata, “Aku tidak meninggalkan sesuatu yang telah dikerjakan Rasulullah Shalallah ‘alaihi wassalam melainkan aku mengerjakannya, karena aku takut apabila aku meninggalkan suatu perintah dari Rasulullah maka aku akan tersesat.”

16. Diriwayatkan dari Ibnu Al Mubarak dari Umar bin Khaththab, bahwa Yazid bin Abu Sufyan pernah makan beraneka ragam makanan, maka Umar berkata kepada maulanya —bernama Yarfa’—, “Jika kamu mengetahui waktu makan malamnya telah tiba, beritahu aku.” Ketika ia menghidangkan makan malamnya, ia pun memberitahu Umar dan Umar mendatanginya sambil mengucapkan salam kepadanya, kemudian meminta izin untuk masuk dan ia diizinkan masuk. Makan malamnya lalu dihidangkan, yang terdiri dari bubur dan dagjng, maka Umar ikut makan bersama dengannya. Kemudian dihidangkan daging tulang hasta, maka Yazid mengulurkan tangannya (untuk mengambil), namun Umar menahannya sambil berkata, “Demi Allah, wahai YazkJ bin Abu Sufyan, apakah diajarkan makan setelah makan? Demi Dzat yang jiwa Umar ditangan-Nya, apabila kamu menyelisihi Sunnah mereka maka kamu akan dipalingkan dari jalan mereka.”

17. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata, “Shalat Safar adalah dua rakaat, dan orang yang melanggar Sunnah berarti telah kafir.”

18. Diriwayatkan oleh Al Ajiri dari As-Sa’ib bin Yazid, ia berkata, “Umar bin Khaththab datang dan para sahabat berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya kami berjumpa dengan seorang lakt-laki yang meminta penakwilan Al Qur’an.’ Umar lalu berdoa, ‘Ya Allah, pertemukanlah aku dengannya’.”

Perawi bercerita, “Pada suatu hari Umar mengundang orang-orang untuk sarapan pagi, lalu tiba-tiba laki-laki tersebut datang dengan memakai baju dan imamah serta ikut sarapan hingga selesai makan. la kemudian berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, demi (angin) yang menerbangkan debu dengan sekuat-kuatnya dan awan yang mengandung hujan.’ Umar lalu berkata, ‘Kamukah orangnya?’ Umar kemudian menghampirinya dengan menggulung lengan bajunya lalu mencambuknya, sampai-sampai imamah yang dipakainya terjatuh. Umar kemudian berkata, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika aku mendapatkanmu tanpa tutup kepala, maka aku akan memukuli kepalamu. Pakaikanlah bajunya dan naikkanlah ia ke atas hewan tunggangan, kemudian antarkan ia hingga ke negerinya. Setelah itu, seseorang sebaliknya berkhutbah dan berkata, “Sesungguhnya seorang tukang cat menuntut ilmu dan berbuat kesalahan.”.’ Akhimya ia terus terhina hingga meninggal dunia, padahal ia adalah pemimpin dari suatu kaum.”

19. Diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak dan yang lain dari Ubai bin Ka’ab, ia berkata, “Hendaklah kalian mengikuti jalan yang lurus dan Sunnah, karena tidak ada seorang hamba yang mengikuti jalan yang lurus dan Sunnah di atas bumi ini kemudian disebutkan nama Allah dan kedua matanya menangis karena takut kepada Allah, lalu Allah mengadzabnya selama-lamanya. Tidaklah ada seorang hamba yang mengikuti jalan yang lurus dan Sunnah di atas bumi serta mengingat Allah pada dirinya, lalu kulitnya tergetar karena takut kepada Allah kecuali perumpamaannya bagaikan pohon yang telah mengering daun-daunnya. Kemudian tetap demikian kondisinya tatkala angin berhembus dengan kencang sehingga berguguran daun-daun dari pohon tersebut, melainkan Allah akan menghapuskan dosa-dosanya seperti bergugurannya daun-daun dari pohon tersebut. Sesungguhnya mengikuti jalan yang lurus dan Sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh beramal dalam perkara yang bertentangan dengan jalan Allah dan Sunnah. Perhatikanlah hal itu dengan baik! Hendaknya amal, usaha yang sungguh-sungguh, dan tujuan dari perbuatanmu, berada di atas ajaran dan Sunnah para nabi.”

20. Diriwayatkan dari Ibnu Wadhdhah, dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Akan datang suatu masa yang orang-orangnya mengamalkan bid’ah dan meninggalkan Sunnah, sehingga tersebarlah bid’ah dan matilah Sunnah.”

21. Diriwayatkan dari Ibnu Wadhdhah, ia berkata, “Hendaklah kalian berpegang teguh pada Al Qur” an dan hadits, serta tinggalkanlah hal- hal yang bid’ah.”

22. Diriwayatkan oleh Ibnu Wahhab, dari Ibnu Abbas, ia bcrkata, “Barangsiapa membuat pendapat yang baru yang tidak terdapat dalam kitab Allah dan tidak dijelaskan oleh Sunnah Rasulullah Shalallah ‘alaihi wassalam, maka ia tidak dapat mengetahui keadaan dirinya ketika berjumpa dengan Allah Azza wa Jalla.”

23. Diriwayatkan oleh Abu Daud dan lainnya dari Mu’adz bin Jabal RA, ia berkata, “Sesungguhnya setelah kalian akan ada fitnah. Fitnah yang paling besar adalah harta dan terbukanya Al Qur” an, sehingga dapat diambil oleh orang mukmin dan munafik, laki-laki, perempuan, anak kecil, orang dewasa, serta hamba sahaya dan orang yang merdeka, hingga ada yang berkata, ‘Mengapa manusia tidak mengikutiku, padahal aku telah membacakan Al Qur’an? Sesungguhnya mereka enggan mengikutiku hingga aku membuat perkara yang baru (bid’ah) selain Al Qur’an.’ Jadi, berhati-hatilah kalian dengan perkara yang baru, karena sesuatu yang baru adalah sesat. Aku juga memperingatkan kalian mengenai tipu daya seseorang yang bijak, karena syetan terkadang berbicara melalui kalimat yang menyesatkan dari mulut orang bijak. Terkadang orang munafik juga berbicara tentang kebenaran.”

24. Ar-Rawi berkata: Aku pernah bertanya kepada Mu’adz, “Apakah aku dapat mengetahui bahwa orang bijak telah mengatakan perkataan yang sesat dan orang munafik telah berbicara tentang kebenaran?” Ia menjawab, “Tentu. Tinggalkanlah perkataan orang bijak selain perkara yang musytaharat, yang dikatakan pada perkara tersebut, ‘Apa ini?’ dan janganlah teperdaya dengan hal tersebut darinya, karena mungkin saja ia menarik pembicaraannya dan mengutarakan yang hak jika kamu memperhatikannya, sebab pada sesuatu yang hak terdapat cahaya.”
Dalam riwayat lain, kalimat musytaharat diganti dengan mutasyabihat, yaitu sesuatu yang samar yang berupa perkataan, sehingga dikatakan, “Apa yang diinginkan dari kalimat ini?” Maksudnya —wallahu a ‘lam— yang zhahimya tidak mencakup keterangan Sunnah sehingga hati mengingkarinya dan manusia berkata, “Apa ini?” Hal ini kembali pada perkara tentang peringatan terhadap kesalahan orang alim, yang insya Allah akan dijelaskan nanti.
Al ‘Itisham – Imam Syathibi

Pernyataan tabi’in tentang bid’ah dan pelakunya

Pernyataan tabi’in tentang bid’ah dan pelakunya

1. Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah dari Al Hasan, ia berkata, “Pelaku bid’ah tidaklah bertambah kesungguhannya, baik shalat maupun puasa, melainkan dirinya bertambah jauh dari Allah.”
2. Diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dari Abu Idris Al Khulani, ia berkata, “Melihat api di masjid yang tidak dapat aku padamkan lebih aku cintai daripada melihat bid’ah yang tidak dapat aku rubah (menjadi benar).”
3. Diriwayatkan dari Fudhail bin Iyyadh, ia berkata, “Ikutilah jalan-jalan petunjuk dan tidaklah merugikanmu karena sedikit orang-orang yang mengikutimu, jauhilah olehmu jalan-jalan kesesatan, dan janganlah tepedaya oleh banyaknya orang-orang yang celaka.”
4. Diriwayatkan dari Al Hasan, ia berkata, “Janganlah kamu menggauli pengikut hawa nafsu, sebab ia akan menghembuskan perkara-perkara yang telah kamu ikuti darinya dalam hatimu dan kamu pasti akan celaka, dan jika kamu menentangnya maka hatimu akan tersiksa.”
5. Diriwayatkan dari Al hasan dalam firman Allah Ta’ala, “Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebe/um kamu.” (Qs. Al Baqarah [2]: 183) ia berkata, “Allah Ta’ala telah mewajibkan puasa atas orang-orang Islam sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum mereka. 
 Adapun orang-orang Yahudi, pasti menolaknya, sedangkan orang-orang Nasrani menganggap puasa telah membuat mereka susah. Mereka (orang-orang Nasrani) menambahkannya sepuluh hari serta mengakhirinya pada waktu yang lebih meringankan mereka dalam berpuasa.” Al Hasan ketika meriwayatkan hadits ini berkata, “Perbuatan yang sedikit sesuai dengan Sunnah lebih baik daripada perbuatan yang banyak namun dalam kerangka bid’ah.”
6. Diriwayatkan dari Abu Qilabah, ia berkata, “Janganlah kamu menggauli para pengikut nafsu (kelompok yang sesat) dan jangan pula kamu berdebat dengan mereka, karena aku tidak merasa aman, sebab mereka akan memasukkanmu dalam kesesatan mereka serta mencampur- adukkan atasmu semua perkara yang telah kamu ketahui.” Ayyub berkata, “Mereka adalah —demi Allah— para ulama yang berakal.”
7. Diriwayatkan dari Abu Qilabah, ia berkata, “Sesungguhnya pengikut hawa nafsu sama saja dengan pengikut kesesatan, dan aku pastikan akhir perjalanan mereka adalah neraka.”
8. Diriwayatkan dari Al Hasan, ia berkata, “Janganlah kamu menggauli ahli bid’ah, karena ia akan membuat hatimu sakit.”
9. Diriwayatkan dari Ayyub As-Sakhtiyani, ia berkata, “Sesungguhnya ahli bid’ah tidak bertambah kesungguhannya (beribadah) melainkan semakin menjauh dirinya dari Allah.”
10. Diriwayatkan dari Abu Qilabah, ia berkata, “Tidaklah seseorang membuat bid’ah melainkan dihalalkan baginya pedang.”
11. Ayyub —menyebut ahli bid’ah dengan golongan Khawarij— berkata, “Sesungguhnya orang-orang Khawarij berselisih tentang (nama) dan mereka sepakat dengan pedang (mengadakan peperangan).”
12. Diriwayatkan dari Ibnu Wahab dari Sufyan, ia berkata, “Seorang ahli fikih berkata, ‘Aku tidak ingin menunjukkan (mengajarkan ilmu) kepada semua manusia sementara aku menyesatkan satu orang’.”
13. Diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dari Sufyan, ia berkata, “Perkataan tidak akan terwujud kecuali dengan perbuatan, sedangkan perkataan dan perbuatan tidak akan terwujud kecuali dengan niat. Jadi, perkataan, perbuatan, serta niat tidak akan terwujud kecuali dengan mengikuti Sunnah.”
14. Diriwayatkan dari Al Ajiri bahwa Ibnu Sirin berkata, “Orang yang paling cepat keluar dari Islam adalah orang yang mengikuti hawa nafsu.”
15. Diriwayatkan dari Ibrahim, ia berkata, “Janganlah kamu berrbincang- bincang dengannya, karena aku takut hatimu akan berpaling dari Islam.”
16. Diriwayatkan dari Hisyam bin Hassan, ia berkata, “Allah tidak akan menerima puasa, shalat, haji, jihad, umrah, sedekah, dan semua amal yang wajib dan yang sunah, yang dilakukan oleh pelaku bid’ah. —Ibnu Wahab menambahkan— akan datang kepada manusia suatu zaman yang mencampuradukkan antara perkara yang hak dengan yang batil. Jika telah datang maka doa tidak lagi berarti kecuali seperti doa orang yang tenggelam.”
17. Diriwayatkan dari Yahya bin Abu Katsir, ia berkata, “Jika kamu bertemu dengan pelaku bid’ah di jalanan, maka kamu sebaiknya melewati jalan yang lain.”
18. Sebagian ulama salaf berkata, “Orang yang menggauli seorang pelaku bid’ah, maka terlepas darinya penjagaan, dan diserahkan semuanya kepada dirinya.”
19. Diriwayatkan dari Awwam bin Hausyab, ia berkata kepada anaknya, “Wahai Isa, perbaikilah hatimu dan kurangilah hartamu.”
Ia berkata, “Demi Allah, aku lebih senang melihat Isa duduk-duduk bersama pemusik, pemabuk, dan pelaku kejahatan, daripada melihatnya duduk-duduk bersama orang-orang yang membuat perrnusuhan.”
Ibnu Wadhdhah berkata, “Yang dimaksud (orang-orang yang membuat permusuhan) dalam pernyataan tersebut adalah ahli bid’ah.”
20. Beberapa orang berkata kepada Abu Bakar bin Ayyasy,”Wahai Abu Bakar, siapakah orang yang mulia?” la menjawab, “Orang yang apabila disebutkan tentang kesesatannya ia tidak marah sedikit pun.”
21. Yunus bin Ubaid berkata, “Sesungguhnya orang yang terfitnah dengan perkara Sunnah, kemudian diterima oleh orang yang asing, maka pelakunya lebih asing darinya.”
22. Diriwayatkan dari Yahya bin Abu Umar Asy-Syaibani, ia berkata, “Sesungguhnya telah dikatakan bahwa Allah tidak akan menerima pelaku bid’ah dengan tobatnya dan seorang pelaku bid’ah hanya dapat berpindah ke tempat yang lebih buruk darinya.”
23. Diriwayatkan dari Abu Al Aliyah, ia berkata, “Pelajarilah Islam, dan jika kamu telah mempelajarinya maka janganlah kamu meninggalkannya, dan berpegang teguhlah pada jalan yang lurus, karena itu adalah Islam. Janganlah kamu berbelok ke kanan dan ke kiri serta ikutilah Sunnah Nabimu dan semua perkata yang dijalankan oleh para sahabat beliau sebelum mereka membunuh sahabat-sahabat mereka sendiri dan sebelum mereka berbuat seperti yang telah mereka perbuat. Telah dibacakan kepada kita Al Qur’an sebelum mereka membunuh sahabat-sahabat mereka sendiri dan sebelum mereka berbuat seperti yang telah mereka perbuat. Jauhilah olehmu ajaran yang menyesatkan, yang menghembuskan perselisihan dan permusuhan di antara manusia.”
 Disebutkan hadits tersebut kepada Al Hasan, ia lalu berkata, “Semoga Allah merahmatinya. Ia memang benar.”
Diriwayatkan pula oleh Ibnu Wadhdhah dan yang lain. Malik sering membaca syair,
Sebaik-baik perkara agama adalah yang sesuai Sunnah
Seburuk-buruknya perkara adalah yang dibuat-buat dan perkara bid’ah.
24. Diriwayatkan dari Muqbil bin Hayyan, ia berkata, “Pelaku ajaran sesat adalah bencana umat Muhammad Shalallah ‘alaihi wassalam . Sesungguhnya mereka mengagungkan Nabi Shalallah ‘alaihi wassalam dan keluarganya untuk menjerat dengan sebutan yang baik tersebut dihadapan orang-orang bodoh, kemudian menggiring mereka pada kekeliruan dan kehancuran. Mereka sama seperti orang yang menuangkan getah pohon Sibir dan mengatakan bahwa hal itu adalah madu, serta orang yang menuangkan racun yang mematikan dan mengatakan bahwa itu adalah penawar racun. 

Oleh karena itu, beritahulah mereka, karena jika kamu tidak tenggelam di lautan air, kamu pasti tenggelam di lautan kesesatan yang lebih dalam dasarnya, lebih dahsyat goncangannya dan lebih banyak halilintarnya, atau seperti lautan serta unsur yang terdapat di dalamnya yang sulit dilukiskan. Jadi, terbelahlah niat yang kamu gunakan untuk melintasi gelombang kesesatan dengan mengikuti Sunnah.”
25. Diriwayatkan dari Ibnu Mubarak, ia berkata, “Ketahuilah saudaraku semuanya! Sesungguhnya kematian adalah rahmat bagi setiap muslim yang berjumpa Allah dengan membawa pahala Sunnah. Sesungguhnya kita milik Allah dan hanya kepada-Nya kita kembali. Kepada Allah kita mengadukan tentang kesusahan kita, kepergian para saudara kita, sedikitnya para penolong kita, dan timbulnya bid’ah di antara kita. Hanya kepada Allah kita mengadukan bencana yang besar ini; dengan kepergian para ulama dan Ahlus-Sunnah serta munculnya bid’ah.”
26. Ibrahim At-Taimi berdoa, “Ya Allah, lindungilah aku dengan agama-Mu dan Sunnah nabi-Mu dari perselisihan dalam perkara yang hak, dari mengikuti hawa nafsu, dari jalan-jalan kesesatan, dari perkara- perkara yang syubhat, serta dari keraguan dan perpecahan.”
27. Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, bahwa ia menulis surat yang isi, “Sesungguhnya aku memperingatkan kalian untuk tidak condong kepada para pengikut kesesatan dan penyimpangan yang menyesatkan.”
28. Perkataan Umar di atas mimbar (ketika orang-orang membaiat Umar) setelah ia memuji Allah dan mengagungkan-Nya: “Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya tidak ada nabi setelah Nabi kalian, tidak ada kitab setelah kitab kalian, tidak ada Sunnah setelah Sunnah Nabi kalian, dan tidak ada umat setelah kalian.

Ketahuilah, sesungguhnya perkara yang halal adalah yang telah dihalalkan Allah dalam kitab-Nya atas lisan Nabi-Nya, maka hukumnya tetap halal hingga Hari Kiamat. Ketahuilah pula bahwa perkara yang haram adalah yang diharamkan Allah di dalam kitab-Nya atas lisan Nabi-Nya, maka hukumnya tetap haram hingga Hari Kiamat. Sesungguhnya aku tidak membuat sesuatu yang baru, tetapi hanya mengikuti. Aku bukanlah seorang pembuat hukum tetapi hanya menjalankannya. Aku bukanlah pengumpul pajak, tetapi hanya meletakkannya sebagaimana yang telah diperintahkan. Aku bukanlah orang yang paling baik di antara kalian, tetapi orang yang paling berat menanggung beban. Ketahuilah, tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam kemaksiatan kepada Sang Pencipta.” Setelah itu ia turun dari mimbar.
Oleh sebab itu Urwah bin Udzainah —dari Udzainah Yartsiah— berkata dalam syaimya,
Engkau telah menghidupkan Ilmu dan Sunnah dalam IslamDan tidaklah engkau membuat hukum dari hukum-hukum sebagai tambahan.. Setiap hari engkau memerangi bid’ah, Membangun untuk kami Sunnah yang telah runtuh

Perkataan Umar bin Abdul Azis yang sangat diperhatikan dan dihafal oleh para ulama, bahkan sangat disukai oleh Imam Malik, yaitu:
“Rasulullah SAW dan para pemimpin setelah beliau membuat Sunnah untuk digunakan sebagai pembenaran terhadap kitab Allah, sebagai kesempurnaan terhadap ketaatan kepada Allah, serta sebagai benteng atas agama Allah. Jadi, tidak ada hak bagi seseorang untuk mengubah dan mengganti atau membuat sesuatu yang bertentangan dengannya. Orang yang memakainya pasti akan mendapatkan petunjuk, orang yang menjadikannya sebagai senjata pasti akan menang, dan orang yang mengingkarinya serta mengikuti selain jalan kaum muslim pasti dimasukkan ke dalam neraka (oleh Allah) tempat kembali yang paling buruk.

Perkataannya tersebut singkat namun mengandung pokok-pokok ajaran agama yang baik, diantaranya adalah yang kita jalankan, Tidak ada hak bagi seseorang untuk mengganti atau membuat sesuatu yang bertentangan dengannya.” Secara keseluruhan, hal tersebut telah menghapuskan perkara bid’ah. Sedangkan perkataannya, “Orang yang memakainya pasti akan mendapatkan petunjuk….” adalah sebagai pujian bagi orang yang mengikuti Sunnah dan sebagai celaan bagi orang yang menyelisihinya dengan dalil-dalil yang menguatkan perkara tersebut, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terbadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Qs. An-Nisaa’ [4): 115).

Demikian pula yang telah dijalankan oleh para pemimpin setelah Nabi Shalallah ‘alaihi wassalam yang menjadi Sunnah dan bukan sama sekali bid’ah, meski tidak tertera dalam kitab Allah atau Sunnah Nabi secara khusus, akan tetapi diterangkan secara umum, sebagaimana yang tertera dalam Hadits Al Irbadh bin Sariyah RA, tatkala beliau bersabda,

“Hendaknya kamu berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Genggamlah erat-erat dan gigitiah ia dengan gigi geraham, dan berhati-hatilah terhadap hal-hal —dalam Islam—yang dibuat-buat.”

Beliau menyepadankan antara sunnah Khulafaurrasyidin dengan Sunnahnya. Jadi, yang mengikuti sunnah beliau dengan mengikuti sunnah mereka, sedangkan perkara-perkara yang baru dianggap menyelisihi Sunnah dan tidak sedikit pun mendapat bagian. Para sahabat dalam menentukan sunnah adalah berdasarkan Sunnah Nabi Shalallah ‘alaihi wassalam , atau berdasarkan pernahaman mereka dari Sunnah Nabi Shalallah ‘alaihi wassalam —baik secara keseluruhan maupun secara khusus— yang hanya diketahui oleh mereka. Hal ini nanti insya Allah akan diterangkan.

Abu Abdullah —seorang hakim— telah meriwayatkan dari Yahya bin Adam, perkataan para salafushshalih, “Sunnah Abu Bakar dan Umar” Maksudnya adalah setelah Nabi SAW wafat mereka berdua masih pada Sunnah tersebut dan dirinya tidak membutuhkan pendapat orang lain selama ada perkataan Nabi Shalallah ‘alaihi wassalam . Adapun pendapat yang benar dari dirinya hanyalah perwujudan dari hadits Irbadh. Berarti, tidak terdapat penambahan pada hal-hal yang telah ditetapkan oleh Sunnah beliau.

Walaupun demikian, ia sangat khawatir Sunnah tersebut terhapus oleh Sunnah yang lain, sehingga para ulama merasa perlu untuk melihat tingkah laku Khulafaurrasyidin setelah Nabi, supaya mereka yakin bahwa perkara tersebut telah dijalani oleh Nabi Shalallah ‘alaihi wassalam hingga wafatnya, tanpa ada sesuatu yang menggantinya, sebab mereka mengambil suatu hukum berdasarkan kejadian, sedangkan adanya kejadian adalah termasuk perkara beliau. Atas dasar inilah Malik bin Anas menentukan hukum dengan amal perbuatan dan mengembalikan suatu perkara kepadanya ketika terjadi pertentangan dalam Sunnah.

Dari dasar-dasar yang terkandung dalam atsar Umar bin Abdul Aziz tersebut dapat diketahui bahwa sunnah para pemimpin dan perbuatan para pemimpin merupakan hasil penafsiran terhadap kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya Shalallah ‘alaihi wassalam sesuai dengan perkataannya, “Untuk digunakan sebagai pembenaran terhadap kitab Allah, sebagai benteng atas agama Allah….” Inilah dasar-dasar yang telah ditetapkan selain pada pembahasan ini dan perkataan Umar bin Abdul Aziz itu mencakup dasar-dasar agama yang baik serta faidah yang banyak.

Yang sangat mulia dari perkataan Abu Ilyas Al Albani, adalah “Tiga hal yang jika ditulis pada secarik kertas akan mencukupi karena di dalamnya mencakup kebaikan dunia serta akhirat, yaitu: Ikuti (Sunnah) dan jangan berbuat bid’ah, rendah diri, dan tidak angkuh. Orang yang bersikap wara* pasti tidak berbuat semaunya.”
Atsar-atsar ulama salaf dalam perkara ini sangatlah banyak.
Sumber : Al ‘Itisham – Imam Syathibi

Sikap Berlebih-lebihan Menyebabkan Kesesatan

Sikap berlebihan terhadap para nabi dan orang-orang shalih telah terjadi pada kelompok-kelompok sesat di kalangan ahli ibadah dan para pengikut sufi. Bahkan sebagian mereka keyakinannya telah tercampur dengan aliran emanasi dan manunggaling kawula lan gusti. Sikap ini merupakan sikap paling buruk yang menyebabkan kesesatan pada golongan-golongan tersebut. 

Allah berfirman pada surah At Taubah ayat 31:
“Mereka telah menjadikan para pendeta dan pastur-pastur mereka sebagai Tuhan selain Allah dan mereka juga menjadikan Al Masih putra Maryam (sebagai tuhan).”

Pada hadits riwayat Ahmad dan Tirmidzi, Nabi menjelaskan maksud ayat ini kepada ‘Adi bin Hatim, bahwa para pendeta menghalalkan hal-hal yang semula diharamkan kepada mereka (kaum Nasrani) lalu mereka (para pengikutnya) menaati ucapan para pendeta itu. Para pendeta juga mengharamkan hal-hal yang Allah halalkan kepada mereka, lalu para pengikutnya menaati ucapan para pendeta itu. Allah juga berfirman pada surah Al Hadiid ayat 27 tentang perilaku golongan yang sesat: “(Yaitu) perilaku kependetaan yang mereka rekayasa, padahal Allah tidak menetapkan hal itu kepada mereka, kecuali mereka disuruh mencari keridhaan Allah.” Sungguh beberapa kelompok dari kaum muslim telah terpedaya oleh perilaku kependetaan yang merupakan hasil rekayasa mereka.

Sering kita temui sebagian besar dari ajaran kaum Nasrani berupa nyanyian dan gambar-gambar indah. Mereka tidak lagi serius memperhatikan pokok ajaran mereka selain kegiatan menyanyikan lagu-lagu dengan paduan suara.

Kemudian sebagian umat Islam pun terpengaruh perilaku merekayasa nyanyian-nyanyian merdu dengan qasidah yang bermacam-macam dan paduan suara untuk menyegarkan hati dan suasana. Padahal, perbuatan ini termasuk perbuatan menyerupai sebagian perilaku golongan sesat tersebut. Allah berfirman pada  

surah Al Baqarah ayat 113:
“Kaum Yahudi berkata: ‘Kaum Nasrani tidak mengikuti jalan kebenaran.’ Dan kaum Nasrani berkata: ‘Kaum Yahudi tidak mengikuti jalan kebenaran.’”
Ayat tersebut menjelaskan bahwa kaum Yahudi dan kaum Nasrani masing-masing mengingkari kebenaran yang ada pada pihak lain.

Sebagian besar dari ahli fiqh, jika melihat golongan sufi dan ahli ibadah, maka mereka menilai golongan tersebut sama sekali tidak benar dan menganggap mereka sebagai golongan bodoh dan sesat. Cara mereka beragama dianggap sama sekali tidak berdasarkan ilmu dan petunjuk. Sebaliknya, golongan sufi beranggapan bahwa syari‘at dan ilmu sama sekali tidak benar. Orang yang berpegang teguh kepada syari‘at dan ilmu dianggap terputus dari Allah, dan para pengikutnya tidak akan memperoleh manfaat sedikit pun di sisi Allah.

Sikap yang benar adalah meyakini bahwa segala yang tersebut dalam Al-Qur‘an dan As-Sunnah itulah yang benar, sedangkan semua yang menyelisihi Al-Qur‘an dan As-Sunnah adalah batil.
Ibnu Taimiyah berkata: “Akan terjadinya perpecahan di kalangan umat Islam telah disebutkan dalam sebuah hadits:
Dari Abu Hurairah, sungguh Rasulullah sholalloh ‘alaihi wassalam pernah bersabda:

Kaum Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan, atau tujuh puluh dua golongan, demikian juga kaum Nasrani. Dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan.(HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Tirmidzi, hadits hasan shahih)

Dari Mu‘awiyah bin Abu Sufyan, ia berkata bahwa Rasulullah sholalloh ‘alaihi wassalam bersabda: “Sungguh pengikut dua kitab (Taurat dan Injil) terpecah dalam urusan agama mereka dalam tujuh puluh dua aliran dan umat ini akan terpecah ke dalam tujuh puluh tiga aliran yaitu hawa nafsu. Semuanya masuk neraka kecuali satu, yaitu al-jama‘ah.” (HR. Ahmad)

Sabda beliau juga:
“Sungguh akan muncul beberapa kelompok dari umatku yang mengikuti hawa nafsu, sebagaimana anjing mengikuti tuannya, sehingga tidaklah tersisa sepotong daging atau sepotong tulang pun melainkan pasti dicaploknya. Wahai bangsa Arab, demi Allah, jika kamu sekalian tidak mau melaksanakan apa yang dibawa oleh Muhammad , niscaya kaum lain dari umat manusia ini lebih tidak mau lagi melaksanakannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim)

Nabi telah memberitahukan bahwa umatnya akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tujuh puluh duagolongan di antaranya tidak diragukan lagi menempuh jalan sesat seperti yang telah ditempuh oleh umat sebelum mereka.

Kemudian perpecahan yang diberitahukan Nabi mungkin terjadi dalam urusan agama saja, atau dalam urusan agama dan dunia, kemudian terkadang mengimbas kepada urusan dunia atau barangkali perpecahan itu hanya dalam urusan dunia saja.
Perpecahan yang disebutkan dalam dua hadits di atas adalah suatu hal yang dilarang oleh Allah sebagaimana firman-Nya pada surah  

Ali ‘Imran ayat 105:
“Dan janganlah kamu menjadi seperti golongan yang bercerai berai dan berselisih setelah datang bukti-bukti kebenaran kepada mereka. Mereka itu akan mendapatkan azab yang berat.”
Dan firman-Nya pada surah Al An‘aam ayat 153:

“Sungguh mereka yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi bergolongan-golongan, maka engkau Muhammad sedikitpun bukan dari golongan mereka.”
Mukhtarat Iqtidha’ Ash-Shirathal Mustaqim